Prabumulih, RT – Tidak banyak orang yang memilih profesi sebagai pelukis, hal itu dimaklumi karena, menjadi pelukis, belum tentu menghasilkan uang dengan cepat, namun seandainya bersabar dibarengi ketekunan dan keihklasan, maka menjadi pelukis, juga dapat membuat hidup lebih dari berkecukupan, semodel Pelukis Basuki Abdullah ataupun Iwan Tirta.
Hal itu yang dirasakan oleh Aang Sungkawa (49), pria asal Garut, yang Pindah ke kota Prabumulih, medio tahun 2008 silam, dirinya menjadikan lukisan sebagai sumber kehidupannya, kini berkat ketelatenannya, satu lukisannya minimal dihargai Rp 1 juta, hingga yang paling mahal pernah mencapai Rp 15 juta.
Diceritakannya, bahwa jenis lukisannya berbeda dengan lukisan pada umumnya, yang banyak menggunakan bahan cat minyak atau pabrikan, tapi justru Aang, mengembangkan lukisan berbahan dasar pewarna alami, yaitu terutama yang berasal dari tanah, yakni tanah liat merah dan kuning, arang untuk warna dasar hitam, dan kapur, sebagai unsure warna putihnya. “Dari ketiganya, kita kembangkan banyak warna lagi, dari hasil, mencampur ketiga warna tersebut, adapun warna dari ketiga unsure tersebut, lebih bagus ketimbang warna dari bahan organic lainnya seperti pewarna dari tumbuhan, sebab kalau dari tumbuhan, kalau terpapar sinar matahari terus – menerus, justru cepat pias atau pudar warnanya,” katanya pada wartawan, (26/1).
Lulusan akademi seni rupa jurusan desainer ini, menerangkan, bahwa lukisan dari pewarna tanah itu, justru telah dikenal, oleh manusia ribuan tahun yang lalu, seperti di salah satu gua di Sulawesi Selatan, ada terdapat lukisan tangan berusia 45 ribu tahun, itu berarti pewarna tanah ini, sudah dikenal oleh orang dulu kala.
Dilanjutkannya, ketika dating di Prabumulih pada tahun 2008, dirinya mendapat support dari PT Pertamina, melalui program CSR. Aang ditunjuk oleh PT Pertamina, sebagai instruktur pemanfaatan limbah organik, dan mengajarkan seni kaligrafi dari kulit telur, yang mengajarkan pada orang lain, bahkan hingga pelosok desa.
Untuk lukisan dari pewarna tanah liat, dikembangkannya pada tahun 2009, ketika itu lukisan pertamanya, dihargai senilai Rp 6 juta, itu awalnya, hingga pernah diborong oleh Pemerintah Kabupaten Muaraenim sebanyak 30 lukisan, dengan nilai Rp 30 juta, yang mana satu lukisan kecil senilai Rp 1 juta.
Lama waktu pembuatan lukisannya, tidak tergantung selama waktu tertentu. “Bisa sehari satu lukisan, atau kalau lagi mood, pernah buat lukisan kecil senilai Rp 1 juta sebanyak 50 buah, dan pihak yang paling banyak memborong lukisannya, yakni dari PT Pertamina,” bebernya seraya menerangkan, dari awal hingga kini, sudah lebih dari 500 an buah lukisan dari pewarna tanah berhasil dibuatnya.
Dilanjutkannya pula, dalam melukis dirinya tidak punya pakem atau pola tertentu, sebab kalau ada pola atau patokannya, itu namanya kerajinan bukan karya seniman, harga lukisannya tak hanya yang Rp 1 juta, tapi ada yang bernilai Rp 5 juta, Rp 8 juta, hingga Rp 15 juta. “Hanya orang yang berjiwa seni, yang tahu berapa sebuah lukisan untuk dihargai, lagipula lukisan itu investasi karena tahun depan harganya dapat lebih mahal dari harga pembelian awal,” tandasnya.
Kini tak hanya lukisan dari pewarna tanah yang digarapnya, tapi Aang juga sedang mengembangkan lukisan, dari potongan – potongan songket yang tak terpakai, dan lukisan Acrylik atau dari cat berbahan dasar air. “Keinginan kita yang belum terwujud, ingin mengadakan pameran lukisan sendiri, dan memajangkan lukisan kita seluruhnya,” pungkasnya. (01).